Translate

Jumat, 25 April 2014

SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM ;Perkembangan Islam di Afrika



Perkembangan Islam di Afrika

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata kuliah
SKI Disekolah/Madrasah
Dosen Pengampu:
Arifin, M.Pd.I
Disusun Oleh:

Ahmad Saumal Huda             123111014
Aji Muslim                              123111019


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2013

BAB I
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama  yang tersebar dipertengahan bumi ini yang terbentang dari tepi laut Afrika sampai laut pasifik selatan,dari padang rumput siberia sampai ke pelosok asia tenggara bangsa berber afrika barat,sudan, afrika timur yang berbahasa swahili, bangsa arab timur tengah bangsa turki, irania,bangsa turki dan persi yang tinggal di asia tengah .dari sisi latar etnis, bahasa, adat, organisasi politik, dan pola kebudayaan dan teknologi mereka menampilkan keragaman kemanusiaan, namun islam menyatukan mereka. Meskipun seringkali tidak menjadi totalitas kehidupan meraka, namun islam terserap dalam konsep, aturan keseharian, memberikan tata ikatan kemasyarakatan, dan memenuhi hasrat mereka meraih kebahagiaan hidup. lantaran keragaman tersebut, islam berkembang menjadi keluarga terbesar umat manusia.
Sampai akhir abad ke-19 Islam telah tersebar luas di wilayah Sudan, wilayah padang rumput, dan wilayah rimba Afrika berdasarkan suatu kombinasi sejumlah kekuatan. Komunitas pendatang terdiri pedagang dan para da’i membentuk komunitas muslim yang berpencar di seluruh wilayah. Di wilayah Sudan dan Afrika Timur komunitas tersebut berhasil mengislamkan penguasa setempat dan mendirikan beberapa negara muslim. Menjelang akhir abad ke-19 pasukan eropa menghentikan proses tersebut, mengalahkan, menundukkan, dan menghancurkan negara-negara yang telah terbentuk dan memberlakukan rezim merekan sendiri. Proses pembentukan negara muslim terhenti dan penduduk muslim menjadi sasaran penindasan politik dan ekonomi mereka.











BAB II
PEMBAHASAN
A.  Islam masuk ke Afrika
Agama Islam masuk ke daratan Afrika pada masa Khalifah Umar bin Khattab, waktu Amru bin Ash memohon kepada Khalifah untuk memperluas penyebaran Islam ke Mesir lantaran dia melihat bahwa rakyat Mesir telah lama menderita akibat ditindas oleh penguasa Romawi dibawah Raja Muqauqis. Sehingga mereka sangat memerlukan uluran tangan untuk membebaskannya dari ketertindasan itu.
Selain alasan diatas Amru bin Ash memandang bahwa Mesir dilihat dari kacamata militer maupun perdagangan letaknya sangat strategis, tanahnya subur karena terdapat sungai Nil sebagai sumber makanan. Maka dengan restu Khalifah Umar bin Khattab dia membebaskan Mesir dari kekuasaan Romawi pada tahun 19 H (640 M) hingga sekarang. Dia hanya membawa 400 orang pasukan karena sebagian besar diantaranya tersebar di Persia dan Syria. Berkat siasat yang baik serta dukungan masyarakat yang dibebaskannya maka ia berhasil memenangkan berbagai peperangan. Mula-mula memasuki kota Al-Arisy dan dikota ini tidak ada perlawanan, baru setelah memasuki Al-Farma yang merupakan pintu gerbang memasuki Mesir mendapat perlawanan, oleh Amru bin Ash kota itu dikepung selama 1 bulan.
Setelah Al-Farma jatuh, menyusul pula kota Bilbis, Tendonius, Ainu Syam hingga benteng Babil (istana lilin) yang merupakan pusat pemerintahan Muqauqis. Pada saat hendak menyerbu Babil yang dipertahankan mati-matian oleh pasukan Muqauqis itu, datang bala bantuan 4.000 orang pasukan lagi dipimpin empat panglima kenamaan, yaitu Zubair bin Awwam, Mekdad bin Aswad, Ubadah bin Samit dan Mukhollad sehingga menambah kekuatan pasukan muslim yang merasa cukup kesulitan untuk menyerbu karena benteng itu dikelilingi sungai. Akhirnya, pada tahun 22 H (642 M) pasukan Muqauqis bersedia mengadakan perdamaian dengan Amru bi Ash yang menandai berakhirnya kekuasaan Romawi di Mesir.
B.  Perkembangan Islam di Afrika
1.    Al-Jazair
Pada abad-16, Abdul Qadir yang ayahya pemimpin thariqat berusaha mendirikan sebuah Negara muslim, pada tahun 1832 ia memproklamirkan sebagai amir al mukmin dan sebagai sultan bangsa arab mengklaim dirinya bertanggung jawab dalam menerapkan hukum Islam di wilayah kekuasaannya. Abdul qadir mengembangkan sebuah administrasi hirarkis bagi negaranya dan ia mengangkat sejumlah khalifah, pejabat militer finansial dan pejabat peradaban. Namun pada tahun 1841, seorang jendral prancis Bugeaud meraih kemenangan absolut dalam mendominasi Aljazair dan Abdul Qadir diasingkan ke perancis dan kemudian ke Damaskus. Prancis memulai pemerintahannya di Aljazair dengan menerapkan sistem Makhzan dan Turki, pada awal tahun1840-an perancis meningkatkan membuka jalan bagi kolonisasi prancis.
Untuk menghadapi kehancuran penduduk mereka, terjadilah perlawanan seru bangsa Aljazair tetapi dalam batas skala lokal. Pada tahun 1849 Bu Zian dari Zaatsha, bangkit menentang sistem perpajakan dan melancarkan pemberontakan terhadap pendudukan perancis. Organisasi perlawanan lokal mendatangkan mekanisme politik untuk menumbuhkan kesatuan di tengah masyarakat pedalaman Aljazair yang selalu diwarnai perpecahan. Dari wilayah Tunisia Syaikh Mustafa ibn Azzuz memanfaatkan pertemuannya dalam hubungan kekerabatan untuk mendukung propaganda anti-perancis dan perlawanan di wilayah Constantine dan syaikh pun juga mengadakan perdamaian dengan pihak perancis. Kebijakannya adalah tidak untuk melakukan sebuah peperangan ideologi atau perang agama melainkan untuk menciptakan realitas politik yang terbaik. Dalam tinjauan kesejarahan beberapa gerakan perlawanan ini menandakan determinasi bangsa Aljazair untuk tidak menerima pemerintahan perancis, tetapi gerakan perlawanan tersebut berakhir dengan kekalahan masyarakat Aljazair oleh kekuatan imperial Eropa. Demikianlah tulang punggung politik dan perekonomian masyarakat Aljazair hancur dan hal ini telah dipesiapkan selama 80 tahun penjajahan perancis dan untuk mengupayakan asimilasi Aljazair kepada identitas Eropa. Beberapa suku Aljazair dipaksa meninggalkan atau mendiami kembali beberapa distrik selatan untuk membuka jalan bagi koloni perancis. Kehancuran masyarakat Aljazair semakin parah oleh kolonisasi perancis secara besar-besaran. Perampasan tanah dan sejumlah perundang-undangan pertanahan yang baru memungkinkan bagi pengembangan sebuah koloni Eropa atau koloni perancis yang sangat besar.
Koloni Eropa dan Perancis di Aljazair menghendaki agar Aljazair di asimilasikan sebagai bagian integral dari perancis. Selama beberapa dekade perancis telah berjuang dan akhirnya meraih penguasaan terhadap pemerintahan Aljazair dan integrasi Aljazair ke dalam sistem politik perancis. Hasil akhir ini ditentang oleh pihak militer perancis, yang mana kubu militer sendiri ingin memerintah Aljazair dan menentang pembentukan sebuah pemerintahan sipil bagi warga kolonial. Dominasi perancis terhadap masyarakat Aljazair benar-benar sempurna, namun secara paradoks, pemerintah kolonial melahirkan beberapa kondisi bagi pembangkitan perlawanan dan tuntutan bangsa Aljazair menuju kemerdekaan. Penduduk Aljazair yang kacau-balau dan miskin, pembatasan terhadap tanah perbatasan, pelumpuhan kepemimpinan kesukuannya, kebersamaan para elite agama, kekalahan perlawanan militernya, sama sekali tidak dapat dilahirkan kembali.
Setelah perang dunia I kebijakan perancis secara tidak langsung membangkitkan perlawanan bangsa Aljazair. Pihak perancis menawarkan kewargaan perancis kepada umat muslim jika mereka berkenan melepaskan hukum perdata muslim. Warga pemukiman Aljazair mendesak pemerintah perancis untuk membatalkan sejumlah konsesi ini, dan kewargaan tidak terhadap konsep perancis tentang keadilan, persamaan, dan kewargaan yang tetap dipegangi di kalangan intelektual muslim. Elite pribumi Aljazair terdiri tiga komponen utama, yaitu:
a.         Para lulusan sekolah Arab-Perancis yang mengharapkan berintegrasi sepenuhnya ke dalam masyarakat perancis, meskipun mempertahankan identitas hukum dan sosial mereka sebagai muslim. Pada tahun 1930 pembentukan organisasi federasi perwakilan muslim menuntut persamaan di bidang militer, pendidikan, dan didalam pengangkatan jabatan pemerintahan, dan menuntut penghapusan seluruh upaya yang men-diskriminasikan warga muslim.
b.         Pada tahun 1920 dan 1930 lebih radikal dan berorientasi nasionalis dan berkembang di kalangan emigres Aljazair di paris. Pada tahun 1926 membentuk partai komunis perancis,gerakan ini mengkomunikasikan kepada bangsa Aljazair aspirasi mendirikan sebuah parlemen Aljazair sebagai cikal bakal bagi sebuah bangsa yang merdeka, namun pada tahun 1936 beralih kepada cita-cita pan-Arab menyerukan kemerdekaan Aljazair yang berakar pada nilai-nilai islam dan untuk menjalin persahabatan dengan bangsa arab.
c.         Elite baru Aljazair adalah tokoh tokoh gerakan reformasi islam, yang mengadaptasikan skripturalisme islam dengan kebutuhan nasionalis Aljazair. Reformasi muslim mencapai Aljazair sebagai hasil dari kontak dengan Muahmmad Abduh dan dengan para reformen muslim di Tunisia, tetapi belum tampak jelas hingga setelah perang dunia I. Lahirnya para reformen akhirnya mendesak kalangan marabout kepada kerja sama dengan pihak perancis sehingga semakin mengacaukan posisi mereka. Di sisi lain keramahan politik perancis membangkitkan berbagai kecemasan yang mana kedekatan hubungan dengan perancis agaknya menggoda pihak muslim untuk berasimilasi.
Konstitusi Aljazair berusaha memadukan antara kedua orientasi ini dengan menyatakan Aljazair sebagai sebuah negeri Arab-Islam dan sebuah republik demokratik. Islam di Aljazair melepaskan kontrol negara dan mendapatkan kapasitas untuk mengartikulasi perlawanan terhadap berbagai kebijakan negara.
2.    Tunisia
Pada abad ke-19 pembentukan organisasi muslim di Tunisia mempunyai problem yang sama seperti yang di alami oleh imerpremium Usmani dan Mesir. Menghadapi ekonomi eropa yang sedang berkembang pesat dan kemunduran internal dari Negara Tunisia. Program reformasi keseluruhan didasarkan pada prinsip bahwasanya pemerintahan yang baik merupakan landasan bagi vitalitas social dan ekonomi dan secara politk upaya reformasi ini  bergantung kepada dukungan pihak ulama yang mana khyar al-Din berusaha mempengaruhi mereka agar menerima teknik-teknik pemerintahan Eropa.
Pada sisi lain Tunisia tidak mampu bertahan dari tekanan politik dan ekonomi internasional. Secara progresif Perancis membimbing seluruh biro pemerintahan Tunisia, yang terpenting adalah pembukaan Tunisia bagi kolonisasi Perancis dan pemberlakuan sistem pertanian dan pendidikan modern. Perubahan perundang-undangan pertanahan telah melahirkan meningkatnya penghasilan negara dengan membuka sejumlah tanah pertanian baru dan dengan menjamin hak milik para pembeli Eropa, secara politik relatif tenang, para pejabat dan para ulama Tunisia bangkit untuk menentang pemerintah perancis, dan muncullah generasi-generasi baru dari para pemuka nasional dari kalangan birokratik yang terdidik secara modern, sebagaimana yang terjadi di dalam masyarakat Utsmani. Sejak tahun 1930 sampai 1905 kalangan elite serta-merta menerima pemerintah Perancis dan menaruh perhatian besar terhadap masalah pendidikan dan kultural. Elite ini juga memprakarsai pendirian sekolah Khalduniah pada tahun 1896 untuk melengkapi pendidikan Zaytuna dengan beberapa pelajaran modern.
Pada tahun 1930-an generasi nasionalis baru tampil ke barisan terdepan yang dipimpin oleh beberapa konservatif, umumnya mereka berpendidikan Zaytuna, dengan naluri identitas Arab dan muslim mereka sangat kuat. Pada kongres Destour tahun 1932 Bourguiba menuntut  kemerdekaan bagi Tunisia dan mengusulkan sebuah perjanjian persahabatan untuk melindungi beberapa kepentingan Perancis. Pada tahun 1934 kelompok radikal mengambil alih Destour dan menciptakan partai neo-Destour serta memboikot produk-produk Perancis dan pembentukan rezim demokrasi parlementer. Gerakan neo-Destour melancarkan pertempuran selama 12 tahun yang berakhir dengan kemerdekaan Tunisia. Pembentukan sebuah pemerintahan Tunisia yang merdeka segera dilanjutkan dengan konsolidasi kekuasaan Bourguiba. Pemerintahan baru ini secara progresif menghentikan pejabat-pejabat Perancis dan mengganti mereka dengan kalangan militan, meskipun sekitar 2500 warga Perancis masih bertahan dalam kedinasan Tunisia.
Perjalanan sejarah Tunisia sebagai masyarakat muslim yang sangat statis, jatuh dibawah pemerintahan asing pada akhir abad ke-19generasi baru Tunisia yang berpendidikan memberikan atas hilangnya kemerdekaan dengan berpaling kepada reformisme islam dan kepada nasionalisme sekuler untuk menyelamatkan masyarakat mereka. Di bawah pengayoman kalangan elite nasionalis sekuler, kemerdekaan Tunisia tercapai pada tahun 1956. Tunisia berusaha mengembangkan sebuah perekonomian campuran dan sebuah masyarakat yang sekuler. Keterbatasan dan kegagalan rezim baru ini melahirkan gerakan oposisi yang di masukan dalam nilai-nilai islam dan dalam kesetiaan muslim.
3.    Maroko
Maroko adalah sebuah negara yang merdeka yang mempunyai kemampuan bertahan sebagai sebuah rezim otoritasnya didasarkan kombinasi antara symbol khilafah dan sufi, meskipun negara ini sangat kesulitan dalam mempertokoh otoritasnya di wilyah pedesaan atau pedalaman. Adapun kelas politik menengah, Maroko seperti kebanggaan  tuan tanah bangsawan, yang mana pada masyarakat timur tengah lainnya mereka menghendaki kekuasan negara yang memusat. Penetrasi ekonomi bangsa Eropa terhadap Maroko pada akhir abad ke-19menggoyang negaraMaroko dan menyebabkan terbentuknya protektorasi Perancis dan Spanyol pada tahun 1912. Beberapa wilayah selatan Atlas tetap berada di luar penguasaan langsung Perancis dan berada di bawah kewenangan kepala-kepala suku bawahan. Beberapa tokoh suku besar, seperti Mtouggi, Gundafa, dan Glawis, menguasai surplus pertanian, menguasai lintas batas pegunungan Atlas, dan menguasai keuntungan lalu lintas karavan.
Prancis membawa para elite muslim di bawah kontrol mereka, sebagian besar zawiyah sufi menerima otoritas Perancis, membantu dalam menundukkan wilayah kesukuan kepada pemerintahan pusat, dan menjaga perdamaian antara penduduk pastoral yang berpindah-pindah di pegunungan Atlas, sebaliknya prestise sufi merosot sebagaimana merosotnya peran politik mereka, dan mereka digantikan oleh administrator pemerintah. Kebijakan sosial dan pendidikan Lyautey juga dimaksudkan untuk mendukung Perancis terhadap Berber untuk mendapatkan dukungan terhadap pemerintah Perancis, dan menganggap Berber sebagai non-arab yang dapat dipisahkan dari masyarakat umum Maroko dan diharapkan mereka bersekutu kepada Perancis dan membatasi pengaruh arab dan islam.
Kebijakan ekonomi Perancis sangat memihak kepada kepentingan koloni-koloni Perancis. Properti yang sangat luas yang dikuasai oleh sultan dan suku-suku disediakan untuk dibagi-bagi. Dominasi Perancis secara ekonomi dan politik pada negara Tunisia dan Aljazair tampaknya berjalan lancar meskipun hal ini tidak menumbuhkan kondisi kultural dan sosial yang mendukung bagi terbentuknya sebuah gerakan oposisi. Pemerintah Perancis turut menyokong hancurnya struktur tradisional masyarakat Maroko. Adapun posisi bangsa Maroko pertama berlangsung dalam bentuk pemberontakan Abdullah Karim di wilayah penduduk Spanyol. Abdullah Karim adalah seorang intelektual, smua memiii karir sebagai Qodi, guru besar dan sebagai editor surat kabar telegram, ia mengetahui benar kultur bangsa Spanyol dan memiliki banyak koneksi  dengan pihak Eropa. Perlawanan bangsa Maroko terhadap pemerintahan Perancis yang paling akhir datang dari reformasi agama. Reformasisme menegaskan bahwa apapun perubahan yang ditimbulkan oleh pemerintah Perancis adalah merugikan kemapanan kelompok borjuis dan menyadarkan mereka akan kesadaran nasional.
Di Maroko, dibeberapa tempat lain, perang Dunia II benar-benar memperlemah kekuatan Perancis dan mengantarkan pada terbentuknya partai Istiqlal (kemerdekaan) tahun 1943, untuk sampai di barisan terdepan dan berusaha menggalang dukungan massa bagi kemerdekaan Maroko. Dengan meraih kembali kemerdekaan, Sultan kembali menjadi figur politik yang dominan. Sistem protektorasi juga telah menempatkan sultan pada kedudukan politik dan administrasi yang tinggi. Maroko tetap bertahan sebagai negara paling konservatif dan menyatu di antara negara-negara Timur Tengah dan Arab Afrika Utara. Islam di Maroko begitu kuatnya didentifikasikan dengan kerajaan dan negara sehingga ia membetuk identitas nasional bangsa Maroko. Bukanlah berarti bahwa nilai-nilai islam tidak dapat dimanfaatkan untuk menentang rezim ini.
4.    Libya
Pemerintahan Ustmani juga mendirikan rezim pertma di wilayah Tripolitania, Cyrenaica, dan Fezza yang mana pada masa modern ini negara-negara tersebut membentuk sebuah negara yang di kenal sebagai Libya. Selama pada masa pendudukan Ustmani, Libya merupakan wilayah yang tidak memiliki catatan sejarah. Sejak 1835 sampai 1911 Utsmani mengadakan perubahan besar-besaran di Tripolitania. Pada tahun 1858 mereka mengalahkan perlawanan lokal, memperkokoh pemerintahan mereka di seluruh penjuru wilayah, dan memberlakukan reformasi Tanzimat ke Libya. Para gubernur Ustmani memperkuat otoritas pusat, melancarkan proses sedentarisasi masyarakat badui, membangun sejumlah kota dan mengembangkan pertanian, dan membantu membangkitkan kembali perdagangan trans-sahara yang berkembang pesat di Libya sebagai abolisi terhadap rute perdagangan budak sahara melalui Tunisia dan Aljazair.
Semenjak kongres tahun 1878 Italia mengklaim Tripolitania sebagai bagian dari wilayah imperial, dan berusaha memperkuat kehadiran perekonomian mereka di propinsi. Italia menduduki beberapa kota dan memaksa Ustmani agar mengakhiri pemerintahan mereka terhadap Tripolitania dan Cyrenaica, namun Sanusiyah juga mengklaim sebagai Pewaris otoritas Ustmaniyah di Libya. Italia menderita kekalahan dalam Perang Dunia II sehingga Libya jatuh dibawah kekuasaan Inggris dan Perancis, tetapi Perserikatan Bangsa Bangsa memutuskan menjadikan Libya sebagai sebuah negara merdeka pada 1951. Seorang pemimpin Sanusi, Amir Idris menjadi Raja dan memerintahkan negeri ini atas dasar legitimasi keagamaan keluarganya dan atas dasar pengabdiannya dalam perjuangan melawan pemerintahan asing. Pada akhir dekade negara mengambil alih kekuasaan atas seluruh fungsi ekonomi yang penting, menghancurkan sekelompok kecil kelas menengah, dan mendistribusikan kekayaan negara. Dampak politik populisme ini adalah penghapusan seluruh pusat kekayaan independen, dan pembentukan sebuah sistem pengendalian terhadap fungsionari publik, sehingga meminimalkan prospek opposisi terhadap Qadhdhafi.
Qadhdhafi sangat terkenal sebagai tokoh ideologi Arab dan islam radikal. Doktrin revolusionernya yang pertama merupakan kopi dari ideologi Nasseriyah dan Ba’thiyah dan menyerukan persatuan Arab, menentang kolonialisme kepemimpinan bangsa Libya dalam menggalang persatuan dan perjuangan Arab dalam menghadapi Isra’il. Qadhdhafi memproklamirkan sebuah skripturalisme islam yang ekstrem di mana Al-Quran di jadikan satu-satunya sumber otoritas bagi rekonstruksi masyarakat islam, namun hal yang sama tidak diberlakukan terhadap hadist Nabi Muhammad Saw (al-sunnah). Demikian juga moralitas Al-Qur’an di Libya mengharamkan praktik perjudian, alkohol, dan bentuk-bentuk kejahatan “Barat” yang sedang menggejala. Dengan demikian identifikasi Arabisme dan islam berkembang secara luas di timur tengah dan Afrika Utara.
5.    Senegal
pada tahun 1980 negara Sinegal pada dasarnya merupakan rezim non-muslim sekuler yang memerintah sebagian besar penduduk muslim. Meskipun rezim ini diorganisir sesuai institusi politik dan kultural politik eropa dan dijalankan oleh elite non-muslim, bagian terbesar penduduknya terdidik dalam sejumlah thariqat sufi. Ini bersal dari abad ke-19, di mana gerakan jihad muslim dan penakluk Perancis menstransformasikan basis tradisional masyarkat Senegal. Pemerintahan Perancis juga turut menyokong penyebaran islam. Perancis mengambil sikap pragmatis terhadap muslim dan memandang mereka sebagai kelompok yang berperadaban tinggi, berpola hidup produktif, dan cakap di bidang administrasi. Perancis memanfaatkan warga muslim sebagai juru tulis, menjadikan kepala-kepala kampung sebagai perantara dan mengizinkan mereka menjalankan hukum muslim (Syari’ah). Sekalipun demikian, Perancis juga mencemaskan kemungkinan muslim menjadi rival (lawan) politik mereka dan berusaha menjadikan kekuatan mereka tetap tidak terorganisir dan tetap berada di bawah kontrol mereka.
Di antara thariqat Senegal yang paling besar dan termasyhur adalah Murudiyah, didirikan pada tahun 1886 oleh Ahmad Bamba (1850-1927), ia berpendapat bahwa perang melawan Perancis adlah sia-sia dan menerima bantuan dari para pengikut pendahulunya, dan menganjurkan kepada mereka berpindah dari peperangan kepada pekerjaan lain. Sebagian besar pendukung thariqat Muridiyah adalah kaum petani, thariqat ini juga menarik simpati orang yang tidak memili tanah, pemuda pengangguran yang biasanya bekerja sebagai pekerja magang dari umur 9 sampai 25 tahun di dara atau perkumpulan pertanian. Thariqat ini menitikberatkan pada kepatuhan secara total dan pembayaran dengan tenaga kerja secara reguler. Hal ini menjadi sangat hirarkis, bersama dengan sejumlah kecil tokoh yang memberikan kesetiaan kepada mereka yang kedudukannya lebih tinggi.
Pada saat yang sama ketika masyarakat Senegal diorganisir oleh thariqat sufi, kalangan profesional dan elite perkotaan non-muslim mengambil kepemimpinan dalam perjuangan kemerdekaan. Senegal memiliki sejarah elite politik yang sangat cerdik yang berakar pada pertengahan, ketika Perancis memperluas kewarganegaraan. Senegal pada pasca-kemerdekaan menyerupai beberapa masyarakat muslim lainnya. Sebuah negara sekuler yang diperintah oleh elite non-muslim atau elite asing mendominasi penduduk muslim. Penduduk ini diorganisir ke dalam sejumlah thariqat sufi yang merupakan basis bagi organisasi ekonomi warga pedalaman. Sejumlah thariqat muslim tersebut, selanjutnya menjadi bagian integral bagi sistem politik Senegal.
Sekalipun demikian, terdapat sejumlah ketegangan antara negara dan thariqat sufi. Meskipun partai sosialis bergantung kepada thariqat sufi, namun ia tetap menjalankan sekularisasi dan modernisasi masyarakat Senegal. Pada saat yang sama, urbanisasi di Senegal menimbulkan pesatnya pertumbuhan penduduk yang mulai meragukan otoritas magis para tokoh pedalaman. Di beberapa kota muncul minat terhadap bahasa Arab dan bentuk keyakinan islam yang menitik-beratkan pada pengalaman shalat, haji, perilaku etika, dan minat intelektual yang berdampingan dengan penekanan terhadap emosi keagamaan. Sekalipun selama ini terdapat seorang presiden muslim dan perasaan islam yang sangat kuat, negeri ini terlalu lemah untuk mengembangkan sebuah gerakan yang besar untuk mengubah Senegal menjadi sebuah negara muslim lantaran terbagi antara kelompok tradisionalis dan modernis.
6.    Sudan
Pada abad ke-19 beberapa wilayah yang menyusun Negara modern sudah mempunyai sejarah panjang sebagai kesultanan muslim, memiliki jumlah penduduk muslim yang besar dan telah mengembangkan sejumlah institusi keagamaan muslim. Belakangan sejumlah penguasa mesir memperluas wilayah mereka sampai ke wilayah hulu sungai Nile dan sejumlah propinsi di wilayah khatulistiwa pada tahun 1871, Bahr al Ghazal pada tahun 1873, dan menaklukkan Darfur pada tahun 1874.
Razum Mesir mengorganisir monopoli perdagangan Negara dan razia budak menjadi bagian dari bisnis Negara.  Pada tahun 1863 Khedive Isma’il membentuk Sudan Trading Commission and Company  (perusahaan komisi dan perdagangan sudan) yang belakangan di ubah menjadi  the Egyptian Trading and Commission Company untuk membangun dan mengelola jaringan kereta api, rute pelayaran, dan jaringan telegraph.
Pemerintahan mesir membuka jalan bagi penyebaran pembaharuan thariqat Sufi. Melemahnya tokoh suci muslim dan kepala suku dalam berhadapandengan razim asing mengantarkan pada penyebaran thariqat muslim versi baru. Thariqat Samaniyah diperkenalkan oleh Syaikh Ahmad al-THayyib ibn Bashir ( w.1837) di perkenalkan ke sudan oleh Muhammad al-Majdhub (1796-1833), seorang keturunan keluarga wali yang masyhur, yang berusaha memulihkan thariqat Samaniyah sesuai dengan prinsip-perinsip baru. Thariqat Khatamiyah dikenalkan melalui ajaran Muhammad Usman al-Mirghani (1793-1853). Beberapa thariqat tersebut menhadiri konsep keagamaan islam baru,tunduk kepada aturan hokum islam dan menentang pemujaan tradisional terhadap faqib sebagai penyandang mukjizat dan sebagai orang suci. 
Dalam setengah abad pemerintahannya, mesir benar-benar membangkitkan perlawankeras terhadap pejabat-pejabat turki yang menindas, ketika syaikh Muhammad Ahmad menegaskan bahwa dirinya sebagai mahdi ,  “penyelamat yang di tunggu-tunggu”, dan menyerukan kembali kepada islam yang benar ia menentang penggunaan jimat, komsumsi tembako dan alcohol, kehadiran kaum wanita pada upacara pemakaman, penggunaan music dalam prosesi keagamaan dan peziarah kemakam wali. Pendukung awal pemberontakan Mahdis termasuk didalamnya klompok orang-orang saleh yang terbentuk secara sepontan dan berbagai kelompok kesukuan yang terorganisir. Gerakan mahdis berkembang jadi gerakan terbuka mereka mengalahkan Jendral Gordon dan menguasai Khartoum. Dengan kematian mahdi, Abdullah ibn Muhammad, Khalifah meneruskan perjuangan membentuk sebuah rezim negara
Negara bagian mahdis juga menghadapi ekpansi kekuatan italia, prancis dan inggris. Pada tahun 1898 pasukan militer mesir-inggris mengalahkan gerakan mahdis dalam perang omdurman, penaklukan ini mengantarkan terbentuknya wilayah kekuasaan bersama mesir-inggris dan sebuah pemerintahan bersama antara mesir dan inggris. Mesir mendanai pasukan militer dan administrasi negri ini tetapi membiarkan seorang gubernur-jendral inggris berkuasa penuh terhadap urusan militer dan sipil. Inggris pun memberlakukan kembali kebijakan keagamaan rezim mesir yang terdahulu. Pada perang dunia I pihak inggris bersikap mengalah dan menyokong thariqad Khatmiyah untuk mendapatkan dukungan politik yang lebih besar. Meskipun kebijakan inggris tidak menentu arahnya, kalangan Mahdis menerima bahkan mendukung pemerintahan inggris serta berusaha meningkatkan pengaruh mereka mengungguli Status quo para faqih dan sufi konvensional. Lantaran terdesak oleh meningkatnya pengaruh para tokoh agama dan terbentuknya kelimpok nasionalis, pada tahun 1924 Inggris menempuh kebijakan administratif baru untuk mengimbangi elit agama dan perkotaan dengan meningkatkan kepercayaan politik kepada para pimpinan suku dan kampung.
Inggris memperkecil cakupan birokrasi untuk menghindarkan pendidikan dan pengerjaan elite perkotaan, dan mengembangkan pendidikan bahasa Inggris diwilayah selatan serta membentengi gerakan separatisme ragional. Sekalipun demikian, jalan menuju kemerdekaan masih berliku-liku. Pihak inggris tetap enggan mengakhiri kekuasaan kolonialnya, berusaha menanggulangi gencarnya tuntutan warga Sudan untuk merdeka, pada tahun 1947 Inggris mengajukan rencana pembentukan majelis legislatif dan dewan eksekutif nasional, namun memberikan hak veto kepada Gubernur-Jendral Inggris. Negara Sudan merdeka menghadapi problem besar untk menegakkan sebuah rezim nasional yang stabil. Perpecahan agama dan faksional di didalam negeri tersebut, beberapa benturan keras anatara gerakan orang-orang yang komitmen terhadap konsep islam-arab sehubungan identitas Sudan dan elite militer yang komitmen terhadap konsep sekuler kebangsaan Sudan menjadikan negara Sudan merdeka sulit menstabilisasikan rezim politik. Rezim parlemen yang di bentuk pada tahun 1954 segera di tumbangkan melalui kup militer yang terdiri beberapa kekuatan militer mengendalikan kekuasaan pemerintah.
Tumbuhnya sentimen islam diwilayah utara mempertinggi arus integrasi dan islamisasi wilayah selatan. Meskipun secara lebih prakmatis tokoh-tokoh militer telah berusaha menyelesaikan integrasi wilayah selatan dan utara, sebagai warga utara sama sekali tidak dapat menerima negara Sudan sebagai negara sekuler dan sebagai masyarakat pluralis. Sebagai warga selatan masih berpikir dalam regional dan lokal. Kesulitan membentuk sebuah negara yang pluralistik dan upaya mendamaikan perselisihan antara konsep identitas Sudan, identitas nasionalis Arab, identitas islam dan identitas selatan tetap menjadi problem yang belum terselesaikan.
7.    Somalia
Somalia menyerupai Mauritanisa sebagai sebuah Negara yang menonjolkan corak masyarakat kesukuan muslim arab. Pada abad ke 18 suku-suku di Somalia sebagian besar adala uslim dan orang arab. Perlawanan pertama bangsa Somali terhadap pemerintah colonial diwujudkan melalui pembentukan Somaliland National Society (Masyarakat Nasional negri Somali), yang memusatkan perhatian pada pendidikan modern untuk mengatasi partikularisme Somali dan untuk menyatukan penduduk. Masyarakat Somali memiliki unsur kebangsaan cultural dan kebangsaan yang tunggal tetapi mereka tidak membentuk sebuah entitas politik. Mereka seluruhnya muslim yang terbagi kedalam dua klompok keturunan Somali dan Sab yang kemudian terbagi lagi oleh system segmenter yang kompleks menjadi sejumlah konfederasi, subkonfederasi, suku, dan pecahan suku.
Warga Somali juga memeluk tiga thariqat Sufi Qadiriyah, Ahmadiyah dan thariqat Salihiyah. Pada umumnya thariqat-thariqat Sufi menjain hubungan erat dengan suku-suku Somali. Para sufi berperan sebagai guru dan hakim, menjalankan administrasi hokum muslim dalam urusan perkawinan, property, dan perjanjian. Mereka juga bertindak sebagai mediator sekaligus sebagai arbitrator. Ketika seorang wali sufi meninggal, makamnya sering dijadikan sebagai tempat pemujaan, obyek peyiarahan dan disucikan lantaran reputasinya dalam memberikan barokah. Perbedaan antara peranan sufisme di wilayah utara dan selatan :
Sufisme di wilayah utara
1.    Umumnya merupakan warga pastoralis (berpola hidup menggembala ternak)
2.    Para sufi diterima sebagai klien suku dan mereka di beri sejumlah lahan pertanian.
Sufisme di wilayah selatan
1.    Lebih berpola-cocok tanam dan relative tidak (kurang) berpola hiduppastoralisme
2.    Setruktur kesukuan lebih lemah sementara organisasi Negara lebih kuat
Isu politik yang paling problematik bagi Somalia adalah tuntutan untuk memasukkan masyarakat Somalia di Kenya, Djibouti, dan warga Ethiopia di Somalia.
8.    Ethiopia
Ethopia merupakan contoh sebuah Negara yang di dalamnya terdiri perselisihan tajam antara penduduk muslim dan non-muslim. Perselisihan antar klompok keagamaan tersebut telah menimbulkan konflik sejak abad ke-13. Wilayah ekspensi islam dan keultanan muslim yang tegah brkembang pesat tersebut pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 mengancam kelangsungan kekuasaan keristen di Ethiopia, tetapi pada tahun 1831 Teodros menduduki tahta Ethiopia  dengan program penyatuan kembali orang-orang Kristen, menaklukkan Yerusalem, Makkah dan Madinah, menghapuz islam, dan menciptakan kedamean di negri ini.
Setelah kematian Menelik pada tahun 1913, berlangsung masa tenggang pada panjang hingga Haile Selassie menduduki tahta kerajaan pada tahun 1930 dan melancarkan upaya untuk memusatkan (sentralisasi) Negara Ethiopia.
Pada tahun 1950 an kalangan bangsawan pejabat tersebut tergeser oleh generasi yang lenih muda dan kalangan perwira militer, lulusan sekolah menegan atas dan Universitas, pimpinan perserikatan pekerja, dll. Pada tahun 1974 terjadi sebuah pemberontakan tentara, yang di lanjutkan dengan tersebarnya aksi mogok dan bentrokan, yang mengantarkan rezim baru tersebut dijalankan oleh Goodinating Committee of the Army (komisi tentara koordinasi), atau Derg, yang mendobrak pemerintahan imperial dan menggulingkan kekuasaan kaisar.
Dalam situasi yang acau balau ini minoritas muslim menggunakan kesempatan untuk melancrkan perlawanan mereka terhadap upaya penggabungan ke dalam Negara Ethiopia. Dengan didukung oleh Sa’udi Arabia, Sultan Afars melancarkan pemberontak di ogaden. Western Somalia LiberationFront (Front Pembebasan Somalia Barat) Melancarkan tuntutannya akan hak otonomi. Rezim Ethiopia berhasil mengalahkan sebagian besar oposisi, dan berhasil membangun invasi Somalia.
Pada tahun 1952 Eritreadi gabungkan dengan Ethiopia berdasarkan otonomi regional, sebaliknya selassie berusaha mengintegrasikannya kedalam Ethiopia. Pada tahun 1957 bahasa Arab dan Tigriniya di hapuskan sebagai bahasa resmi. Hal ini mengantarkan kepada pembentukan sebuah Eritrean liberation Front (Front Pembebasan Bangsa Eritrea :E.L.F.) yang terdiri kalangan mahasiswa, pekerja, dan intelektual.

C.  Kelebihan dan Kekurangan Dakwah di Afrika
1.    Kelebihan Dakwah di Afrika
a.    Politik
Dalam bidang politik tersebut di Afrika banyak juga tokoh muslim yang menduduki jabatan tetinggi di negaranya. Sebut saja seperti Muammar Khadafi, yakni beliau sebagai pemimpin muslim konteporer Libya banyak berubah setelah Muammar Khadafi menguasai politik libya.
Revolusi Khadafi dianggap sebagai salah satu contoh paling awal dalam pembaharuan politik Islam, sejak Libya merdeka pada tahun 1960 selain dari Khadafi juga ada. Pemimpin negara Ghabon serta negara lainnya di Afrika, sehingga hal tersebut semakin memudahkan penyebaran ajaran Islam di benua Afrika.
Keputusan paling awal rezim ini menyangkut masalah referensi nasionalis dan islam, serta aturan-aturan subtansi. Diantaranya diberlakukan kembali hukum pidana atas Al qur’an serta pelanggaran alkohol dan klub malam mengindikasikan pengakuan terbuka terhadap islam sebagai kekuatan pembimbing dalam kekuatan politik negara.
b.    Ekonomi
Afrika selatan adalah sebuah negara maju dengan penduduk yang berpendapatan sederhana. Negara ini kaya dengan bahan bahan tambang, terutama yang bernilai tinggi sperti, emas, platinum dan berlian. Negara Afrika juga mempunyai sistem keuangan, perundangan, energi infrastruktur yang maju dan moderen. Dengan kekayaan yang di miliki Afrika semakin membuat hubungan antara Afrika dengan negara-negara islam di luar benua Afrika lebih dekat untuk mejalankan dakwah di Afrika tersebut.
2.    Kekurangan Dakwah di Afrika
Secara global, Muslim Afrika dari sisi budaya dan sosial hidup dalam kondisi yang tidak bisa diterima. Mayoritas mereka adalah Ahli Sunnah, akan tetapi pada hakikatnya, mereka mengenal agama secara turun temurun, dan tidak melakukan penelitian tentang mazhabnya sendiri. Para ulama Muslim Afrika juga hidup dalam kondisi yang tidak sesuai, baik dari sisi ilmu maupun pengetahuannya tentang Islam.
Agama merupakan majemuk keyakinan dan hukum-hukum, dimana mengenai Muslim Afrika harus dikatakan bahwa pengetahuan dan keyakinan mereka berada dalam tingkat yang sangat rendah, bahkan mereka juga tidak mampu membuktikan wujud Tuhan secara ilmiah. Yang dipikirkan oleh para ulama mereka adalah bagaimana memenuhi kebutuhan hidup pribadi, mereka sangat lemah dalam masalah pemahaman Al-Quran dan hukum-hukum Islam. Tingkat perekonomian di berbagai negara Afrika memiliki perbedaan. Akan tetapi secara umum, dikarenakan adanya faktor-faktor yang berbeda, keseluruhan negara berada di tingkat bawah. Hal ini terjadi karena berbagai faktor, seperti: banyaknya anggota keluarga, gaji yang rendah, pertanian yang dikelola secara manual dan tradisional, serta ketiadaan bantuan dan kepedulian pemerintah dan bangsa terutama kepada para Muslim di negara ini. Institusi-institusi di negara-negara ini lebih memperhatikan kaum Kristen dibanding kaum Muslim.
Dari aspek sosial dan politik Kelemahan mereka muncul dari berbagai aspek, selain itu slogan-slogan demokrasi Kristen juga berada di papan atas dalam pemerintahan. Masalah pemisahan agama dari politik di sana sangat kuat. Pemisahan agama dari politik telah menyebabkan rakyat menjauh dari masalah-masalah sosial dan politik. Sementara itu, bantuan bangsa-bangsa lain kepada umat Kristen, juga menjadi faktor lain yang telah melemahkan Islam.
Kondisi sumber-sumber alam di kawasan Afrika barat termasuk negara-negara yang sangat kaya dari sisi sumber-sumber alam. Banyak tanah-tanah produktif yang tidak membutuhkan penanganan, bisa disaksikan begitu banyak hutan dan pepohonan alami, akan tetapi produksi pertanian di kawasan ini sangat mahal, hal ini dikarenakan pertanian di kawasan ini dikelola secara tradisional. Operasi-operasi yang dilakukan oleh pabrik-pabrik di negara ini masih sangat dasar, dimana bahkan rakyat Afrika yang tidak mengenal produk-produk dari susu, seperti mentega, yoghurt dan lain sebagainya. Dalam perbandingan antara agama Kristen dan Islam, harus dikatakan bahwa propaganda Kristen dan ketiadaan kewajiban dalam agama ini telah menyebabkan masyarakat Afrika lebih cenderung dan percaya pada Kristen.
D.  Tantangan  Dakwah di Afrika
Didalam melakukan dakwah islam tentunya akan banyak mengalami tantangan dan hambatan yang akan di hadapi. Bgitu pula dengan dakwah yang dilakukan oleh para juru dakwah yang ada di benua Afrika. Berbagai negara di Afrika pun menyampaikan kondisi dan tantangan dakwah yang mereka hadapi di benua. Negara-negara di Afrika umumnya menghadapi tantangan dalam pengembangan pendidikan Islam dan membutuhkan bantuan kemanusiaan. Para misionaris islam ketika memasuki benua Afrika menemukan fakta yang mengejutkan yaitu sedemikian luasnya Islam di benua ini. Penyebaran Islam di Afrika tidak dilakukan secara sistematis oleh kaum muslimin dan para mubaligh Islam. Politik kolonialisme dan penjajahan terhadap berbagai wilayah Afrika oleh Belgia, Prancis, dan Inggris dalam waktu yang sangat lama memberikan kesempatan yang luas bagi para misionaris untuk menyebarkan ajaran Kristen di benua ini.
Di Afrika terdapat banyak tantangan dakwah, yakni banyak misionaris dibawah yayasan Kristen, yang setiap tahun membagi bagi ratusan ribu Injil, buku-buku, dan majalah secarah gratis untuk menyebarkan pemikiran Kristen di tengah pemuda dan remaja dan berbagai lapisan msyarakat lainya. Yayasan Emier merupakan salah satu contoh dari yayasan misionaris yang bertujuan untuk memukul Islam. Yayasan ini memiliki 13 penerbitan dan salah satu aktivitasnya adalah menerbitkan buku dengan gambar-gambar yang menarik bagi anak anak. Dan juga yayasan ini melakukan mata-mata dan melakukan campur tangan dalam urusan pemerintah.Akan tetapi, meskipun telah dilakukan upaya yang sangat luas oleh para misionaris Kristen serta telah digunakannya fasilitas dan keuangan yang sangat banyak dalam program misionaris itu, kenyataan menujukkan bahwah kelompok penyebaran agama Kristen tidak mampu mencapai tujuan-tujuan mereka.














BAB III
PENUTUPAN
Kesimpulan
Agama Islam masuk ke daratan Afrika pada masa Khalifah Umar bin Khattab, waktu Amru bin Ash memohon kepada Khalifah untuk memperluas penyebaran Islam ke Mesir lantaran dia melihat bahwa rakyat Mesir telah lama menderita akibat ditindas oleh penguasa Romawi dibawah Raja Muqauqis. Sehingga mereka sangat memerlukan uluran tangan untuk membebaskannya dari ketertindasan itu. Selain alasan diatas Amru bin Ash memandang bahwa Mesir dilihat dari kacamata militer maupun perdagangan letaknya sangat strategis, tanahnya subur karena terdapat sungai Nil sebagai sumber makanan. Maka dengan restu Khalifah Umar bin Khattab dia membebaskan Mesir dari kekuasaan Romawi pada tahun 19 H (640 M) hingga sekarang. Afrika pun juga berkembang sampai negara Al-Jazair, Tunisia, Maroko, Libya, Senegal, Sudan, Somalia, dan Ethiopia. Perkembangan negara Afrika mengalami kelebihan dan kekurangan dalam politik, ekonomi dan sosial.

















Daftar Pustaka

Badri, Yatim, 1993, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press
Ira. M. Lapidus, 1999, Sejarah Sosial Ummat Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Munir Amin, Syamsul, 2009, Sejarah peradaban Islam, Jakarta: Amzah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar