Perkembangan
Islam di Afrika
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas Mata kuliah
SKI Disekolah/Madrasah
Dosen Pengampu:
Arifin,
M.Pd.I
Disusun
Oleh:
Ahmad
Saumal Huda 123111014
Aji
Muslim 123111019
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
Islam merupakan
agama yang tersebar dipertengahan bumi ini yang terbentang dari tepi laut
Afrika sampai laut pasifik selatan,dari padang rumput siberia sampai ke pelosok
asia tenggara bangsa berber afrika barat,sudan, afrika timur yang berbahasa
swahili, bangsa arab timur tengah bangsa turki, irania,bangsa turki dan persi
yang tinggal di asia tengah .dari sisi latar etnis, bahasa, adat, organisasi
politik, dan pola kebudayaan dan teknologi mereka menampilkan keragaman
kemanusiaan, namun islam menyatukan mereka. Meskipun seringkali tidak menjadi
totalitas kehidupan meraka, namun islam terserap dalam konsep, aturan
keseharian, memberikan tata ikatan kemasyarakatan, dan memenuhi hasrat mereka
meraih kebahagiaan hidup. lantaran keragaman tersebut, islam berkembang menjadi
keluarga terbesar umat manusia.
Sampai akhir abad ke-19 Islam telah tersebar luas di
wilayah Sudan, wilayah padang rumput, dan wilayah rimba Afrika berdasarkan
suatu kombinasi sejumlah kekuatan. Komunitas pendatang terdiri pedagang dan
para da’i membentuk komunitas muslim yang berpencar di seluruh wilayah. Di
wilayah Sudan dan Afrika Timur komunitas tersebut berhasil mengislamkan
penguasa setempat dan mendirikan beberapa negara muslim. Menjelang akhir abad
ke-19 pasukan eropa menghentikan proses tersebut, mengalahkan, menundukkan, dan
menghancurkan negara-negara yang telah terbentuk dan memberlakukan rezim
merekan sendiri. Proses pembentukan negara muslim terhenti dan penduduk muslim
menjadi sasaran penindasan politik dan ekonomi mereka.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Islam masuk ke Afrika
Agama Islam masuk ke
daratan Afrika pada masa Khalifah Umar bin Khattab, waktu Amru bin Ash memohon
kepada Khalifah untuk memperluas penyebaran Islam ke Mesir lantaran dia melihat
bahwa rakyat Mesir telah lama menderita akibat ditindas oleh penguasa Romawi
dibawah Raja Muqauqis. Sehingga mereka sangat memerlukan uluran tangan
untuk membebaskannya dari ketertindasan itu.
Selain
alasan diatas Amru bin Ash memandang bahwa Mesir dilihat dari kacamata militer
maupun perdagangan letaknya sangat strategis, tanahnya subur karena terdapat
sungai Nil sebagai sumber makanan. Maka dengan restu Khalifah Umar bin Khattab
dia membebaskan Mesir dari kekuasaan Romawi pada tahun 19 H (640 M) hingga
sekarang. Dia hanya membawa 400 orang pasukan karena sebagian besar diantaranya
tersebar di Persia dan Syria. Berkat siasat yang baik serta dukungan masyarakat
yang dibebaskannya maka ia berhasil memenangkan berbagai peperangan. Mula-mula
memasuki kota Al-Arisy dan dikota ini tidak ada perlawanan, baru setelah
memasuki Al-Farma yang merupakan pintu gerbang memasuki Mesir mendapat
perlawanan, oleh Amru bin Ash kota itu dikepung selama 1 bulan.
Setelah
Al-Farma jatuh, menyusul pula kota Bilbis, Tendonius, Ainu Syam hingga benteng
Babil (istana lilin) yang merupakan pusat pemerintahan Muqauqis. Pada saat
hendak menyerbu Babil yang dipertahankan mati-matian oleh pasukan Muqauqis itu,
datang bala bantuan 4.000 orang pasukan lagi dipimpin empat panglima kenamaan,
yaitu Zubair bin Awwam, Mekdad bin Aswad, Ubadah bin Samit dan Mukhollad sehingga
menambah kekuatan pasukan muslim yang merasa cukup kesulitan untuk menyerbu
karena benteng itu dikelilingi sungai. Akhirnya, pada tahun 22 H (642 M)
pasukan Muqauqis bersedia mengadakan perdamaian dengan Amru bi Ash yang
menandai berakhirnya kekuasaan Romawi di Mesir.
B. Perkembangan Islam di
Afrika
1.
Al-Jazair
Pada abad-16, Abdul Qadir
yang ayahya pemimpin thariqat berusaha mendirikan sebuah Negara muslim, pada
tahun 1832 ia memproklamirkan sebagai amir al mukmin dan sebagai sultan bangsa
arab mengklaim dirinya bertanggung jawab dalam menerapkan hukum Islam di
wilayah kekuasaannya. Abdul qadir mengembangkan sebuah administrasi
hirarkis bagi negaranya dan ia mengangkat sejumlah khalifah, pejabat militer
finansial dan pejabat peradaban. Namun pada tahun 1841, seorang jendral prancis Bugeaud
meraih kemenangan absolut dalam mendominasi Aljazair dan Abdul Qadir diasingkan
ke perancis dan kemudian ke Damaskus. Prancis memulai pemerintahannya di
Aljazair dengan menerapkan sistem Makhzan dan Turki, pada awal tahun1840-an perancis
meningkatkan membuka jalan bagi kolonisasi prancis.
Untuk menghadapi
kehancuran penduduk mereka, terjadilah perlawanan seru bangsa Aljazair tetapi
dalam batas skala lokal. Pada tahun 1849 Bu Zian dari Zaatsha, bangkit
menentang sistem perpajakan dan melancarkan pemberontakan terhadap pendudukan perancis.
Organisasi perlawanan lokal mendatangkan mekanisme politik untuk menumbuhkan
kesatuan di tengah masyarakat pedalaman Aljazair yang selalu diwarnai
perpecahan. Dari wilayah Tunisia Syaikh Mustafa ibn Azzuz memanfaatkan
pertemuannya dalam hubungan kekerabatan untuk mendukung propaganda anti-perancis
dan perlawanan di wilayah Constantine dan syaikh pun juga mengadakan perdamaian
dengan pihak perancis. Kebijakannya adalah tidak untuk melakukan sebuah
peperangan ideologi atau perang agama melainkan untuk menciptakan realitas
politik yang terbaik. Dalam tinjauan kesejarahan beberapa gerakan perlawanan
ini menandakan determinasi bangsa Aljazair untuk tidak menerima pemerintahan perancis,
tetapi gerakan perlawanan tersebut berakhir dengan kekalahan masyarakat
Aljazair oleh kekuatan imperial Eropa. Demikianlah tulang punggung politik dan
perekonomian masyarakat Aljazair hancur dan hal ini telah dipesiapkan selama 80
tahun penjajahan perancis dan untuk mengupayakan asimilasi Aljazair kepada
identitas Eropa. Beberapa suku Aljazair dipaksa meninggalkan atau mendiami
kembali beberapa distrik selatan untuk membuka jalan bagi koloni perancis.
Kehancuran masyarakat Aljazair semakin parah oleh kolonisasi perancis secara
besar-besaran. Perampasan tanah dan sejumlah perundang-undangan pertanahan yang
baru memungkinkan bagi pengembangan sebuah koloni Eropa atau koloni perancis yang
sangat besar.
Koloni Eropa dan Perancis
di Aljazair menghendaki agar Aljazair di asimilasikan sebagai bagian integral
dari perancis. Selama beberapa dekade perancis telah berjuang dan akhirnya
meraih penguasaan terhadap pemerintahan Aljazair dan integrasi Aljazair ke
dalam sistem politik perancis. Hasil akhir ini ditentang oleh pihak militer
perancis, yang mana kubu militer sendiri ingin memerintah Aljazair dan
menentang pembentukan sebuah pemerintahan sipil bagi warga kolonial. Dominasi
perancis terhadap masyarakat Aljazair benar-benar sempurna, namun secara
paradoks, pemerintah kolonial melahirkan beberapa kondisi bagi pembangkitan
perlawanan dan tuntutan bangsa Aljazair menuju kemerdekaan. Penduduk Aljazair
yang kacau-balau dan miskin, pembatasan terhadap tanah perbatasan, pelumpuhan
kepemimpinan kesukuannya, kebersamaan para elite agama, kekalahan perlawanan
militernya, sama sekali tidak dapat dilahirkan kembali.
Setelah perang dunia I
kebijakan perancis secara tidak langsung membangkitkan perlawanan bangsa
Aljazair. Pihak perancis menawarkan kewargaan perancis kepada umat muslim jika
mereka berkenan melepaskan hukum perdata muslim. Warga pemukiman Aljazair
mendesak pemerintah perancis untuk membatalkan sejumlah konsesi ini, dan
kewargaan tidak terhadap konsep perancis tentang keadilan, persamaan, dan
kewargaan yang tetap dipegangi di kalangan intelektual muslim. Elite pribumi
Aljazair terdiri tiga komponen utama, yaitu:
a.
Para lulusan sekolah Arab-Perancis yang mengharapkan berintegrasi
sepenuhnya ke dalam masyarakat perancis, meskipun mempertahankan identitas
hukum dan sosial mereka sebagai muslim. Pada tahun 1930 pembentukan organisasi
federasi perwakilan muslim menuntut persamaan di bidang militer, pendidikan,
dan didalam pengangkatan jabatan pemerintahan, dan menuntut penghapusan seluruh
upaya yang men-diskriminasikan warga muslim.
b.
Pada tahun 1920 dan 1930 lebih radikal dan berorientasi nasionalis dan
berkembang di kalangan emigres Aljazair di paris. Pada tahun 1926 membentuk
partai komunis perancis,gerakan ini mengkomunikasikan kepada bangsa Aljazair
aspirasi mendirikan sebuah parlemen Aljazair sebagai cikal bakal bagi sebuah
bangsa yang merdeka, namun pada tahun 1936 beralih kepada cita-cita pan-Arab
menyerukan kemerdekaan Aljazair yang berakar pada nilai-nilai islam dan untuk
menjalin persahabatan dengan bangsa arab.
c.
Elite baru Aljazair adalah tokoh tokoh gerakan reformasi islam, yang
mengadaptasikan skripturalisme islam dengan kebutuhan nasionalis Aljazair.
Reformasi muslim mencapai Aljazair sebagai hasil dari kontak dengan Muahmmad
Abduh dan dengan para reformen muslim di Tunisia, tetapi belum tampak jelas hingga
setelah perang dunia I. Lahirnya para reformen akhirnya mendesak kalangan marabout
kepada kerja sama dengan pihak perancis sehingga semakin mengacaukan posisi
mereka. Di sisi lain keramahan politik perancis membangkitkan berbagai
kecemasan yang mana kedekatan hubungan dengan perancis agaknya menggoda pihak
muslim untuk berasimilasi.
Konstitusi Aljazair
berusaha memadukan antara kedua orientasi ini dengan menyatakan Aljazair
sebagai sebuah negeri Arab-Islam dan sebuah republik demokratik. Islam di Aljazair
melepaskan kontrol negara dan mendapatkan kapasitas untuk mengartikulasi
perlawanan terhadap berbagai kebijakan negara.
2.
Tunisia
Pada
abad ke-19 pembentukan
organisasi muslim di Tunisia mempunyai problem yang
sama seperti yang di alami oleh imerpremium Usmani dan Mesir. Menghadapi ekonomi eropa
yang sedang berkembang pesat dan
kemunduran internal dari Negara Tunisia. Program reformasi keseluruhan didasarkan pada
prinsip bahwasanya pemerintahan yang baik
merupakan landasan bagi vitalitas social dan ekonomi dan secara politk upaya
reformasi ini bergantung kepada dukungan
pihak ulama yang mana khyar al-Din berusaha
mempengaruhi mereka agar menerima teknik-teknik pemerintahan Eropa.
Pada sisi lain Tunisia
tidak mampu bertahan dari tekanan politik dan ekonomi internasional. Secara
progresif Perancis membimbing seluruh biro pemerintahan Tunisia, yang
terpenting adalah pembukaan Tunisia bagi kolonisasi Perancis dan pemberlakuan
sistem pertanian dan pendidikan modern. Perubahan perundang-undangan pertanahan
telah melahirkan meningkatnya penghasilan negara dengan membuka sejumlah tanah
pertanian baru dan dengan menjamin hak milik para pembeli Eropa, secara politik relatif
tenang, para pejabat dan para ulama Tunisia bangkit untuk menentang pemerintah
perancis, dan muncullah generasi-generasi baru
dari para pemuka nasional dari kalangan birokratik yang terdidik secara modern,
sebagaimana yang terjadi di dalam
masyarakat Utsmani. Sejak tahun 1930 sampai
1905 kalangan elite serta-merta menerima pemerintah Perancis dan menaruh
perhatian besar terhadap masalah pendidikan dan kultural. Elite ini juga
memprakarsai pendirian sekolah Khalduniah pada tahun 1896 untuk melengkapi pendidikan
Zaytuna dengan beberapa pelajaran modern.
Pada tahun 1930-an
generasi nasionalis baru tampil ke barisan terdepan yang dipimpin oleh beberapa
konservatif, umumnya mereka berpendidikan Zaytuna, dengan naluri identitas Arab
dan muslim mereka sangat kuat. Pada kongres Destour tahun 1932 Bourguiba
menuntut kemerdekaan bagi Tunisia dan
mengusulkan sebuah perjanjian persahabatan untuk melindungi beberapa
kepentingan Perancis. Pada tahun 1934 kelompok radikal mengambil alih Destour
dan menciptakan partai neo-Destour serta memboikot produk-produk Perancis dan
pembentukan rezim demokrasi parlementer. Gerakan neo-Destour melancarkan
pertempuran selama 12 tahun yang berakhir dengan kemerdekaan Tunisia.
Pembentukan sebuah pemerintahan Tunisia yang merdeka segera dilanjutkan dengan
konsolidasi kekuasaan Bourguiba. Pemerintahan baru ini secara progresif
menghentikan pejabat-pejabat Perancis dan mengganti mereka dengan kalangan
militan, meskipun sekitar 2500 warga Perancis masih bertahan dalam kedinasan
Tunisia.
Perjalanan sejarah Tunisia
sebagai masyarakat muslim yang sangat statis, jatuh dibawah pemerintahan asing
pada akhir abad ke-19generasi baru Tunisia yang berpendidikan memberikan atas
hilangnya kemerdekaan dengan berpaling kepada reformisme islam dan kepada
nasionalisme sekuler untuk menyelamatkan masyarakat mereka. Di bawah pengayoman
kalangan elite nasionalis sekuler, kemerdekaan Tunisia tercapai pada tahun
1956. Tunisia berusaha mengembangkan sebuah perekonomian campuran dan sebuah
masyarakat yang sekuler. Keterbatasan dan kegagalan rezim baru ini melahirkan
gerakan oposisi yang di masukan dalam nilai-nilai islam dan dalam kesetiaan
muslim.
3.
Maroko
Maroko
adalah sebuah negara yang merdeka yang mempunyai kemampuan bertahan sebagai
sebuah rezim otoritasnya didasarkan kombinasi antara symbol khilafah dan sufi,
meskipun negara ini
sangat kesulitan dalam mempertokoh otoritasnya di wilyah pedesaan atau
pedalaman. Adapun kelas politik menengah, Maroko seperti kebanggaan tuan tanah bangsawan, yang mana pada masyarakat
timur tengah lainnya mereka
menghendaki kekuasan negara yang memusat. Penetrasi ekonomi bangsa Eropa terhadap Maroko pada akhir abad
ke-19menggoyang negaraMaroko dan menyebabkan terbentuknya protektorasi Perancis
dan Spanyol pada tahun 1912. Beberapa wilayah selatan Atlas tetap berada di
luar penguasaan langsung Perancis dan berada di bawah kewenangan kepala-kepala
suku bawahan. Beberapa tokoh suku besar, seperti Mtouggi, Gundafa, dan Glawis,
menguasai surplus pertanian, menguasai lintas batas pegunungan Atlas, dan
menguasai keuntungan lalu lintas karavan.
Prancis membawa para elite
muslim di bawah kontrol mereka, sebagian besar zawiyah sufi menerima otoritas
Perancis, membantu dalam menundukkan wilayah kesukuan kepada pemerintahan
pusat, dan menjaga perdamaian antara penduduk pastoral yang berpindah-pindah di
pegunungan Atlas, sebaliknya prestise sufi merosot sebagaimana merosotnya peran
politik mereka, dan mereka digantikan oleh administrator pemerintah. Kebijakan
sosial dan pendidikan Lyautey juga dimaksudkan untuk mendukung Perancis
terhadap Berber untuk mendapatkan dukungan terhadap pemerintah Perancis, dan
menganggap Berber sebagai non-arab yang dapat dipisahkan dari masyarakat umum
Maroko dan diharapkan mereka bersekutu kepada Perancis dan membatasi pengaruh
arab dan islam.
Kebijakan ekonomi Perancis
sangat memihak kepada kepentingan koloni-koloni Perancis. Properti yang sangat
luas yang dikuasai oleh sultan dan suku-suku disediakan untuk dibagi-bagi.
Dominasi Perancis secara ekonomi dan politik pada negara Tunisia dan Aljazair
tampaknya berjalan lancar meskipun hal ini tidak menumbuhkan kondisi kultural
dan sosial yang mendukung bagi terbentuknya sebuah gerakan oposisi. Pemerintah
Perancis turut menyokong hancurnya struktur tradisional masyarakat Maroko. Adapun
posisi bangsa Maroko pertama berlangsung dalam bentuk pemberontakan Abdullah
Karim di wilayah penduduk Spanyol. Abdullah Karim adalah
seorang intelektual, smua memiii karir sebagai Qodi, guru besar dan sebagai
editor surat kabar telegram, ia mengetahui benar kultur bangsa Spanyol dan
memiliki banyak koneksi dengan pihak
Eropa. Perlawanan bangsa Maroko terhadap pemerintahan Perancis yang paling
akhir datang dari reformasi agama. Reformasisme menegaskan bahwa apapun
perubahan yang ditimbulkan oleh pemerintah Perancis adalah merugikan kemapanan
kelompok borjuis dan menyadarkan mereka akan kesadaran nasional.
Di Maroko, dibeberapa tempat
lain, perang Dunia II benar-benar memperlemah kekuatan Perancis dan
mengantarkan pada terbentuknya partai Istiqlal (kemerdekaan) tahun 1943,
untuk sampai di barisan terdepan dan berusaha menggalang dukungan massa bagi
kemerdekaan Maroko. Dengan meraih kembali kemerdekaan, Sultan kembali menjadi
figur politik yang dominan. Sistem protektorasi juga telah menempatkan sultan
pada kedudukan politik dan administrasi yang tinggi. Maroko tetap bertahan
sebagai negara paling konservatif dan menyatu di antara negara-negara Timur
Tengah dan Arab Afrika Utara. Islam di Maroko begitu kuatnya didentifikasikan
dengan kerajaan dan negara sehingga ia membetuk identitas nasional bangsa
Maroko. Bukanlah berarti bahwa nilai-nilai islam tidak dapat dimanfaatkan untuk
menentang rezim ini.
4.
Libya
Pemerintahan Ustmani juga
mendirikan rezim pertma di wilayah Tripolitania, Cyrenaica, dan Fezza yang mana
pada masa modern ini negara-negara tersebut membentuk sebuah negara yang di
kenal sebagai Libya. Selama pada masa pendudukan Ustmani, Libya merupakan
wilayah yang tidak memiliki catatan sejarah. Sejak 1835 sampai 1911 Utsmani
mengadakan perubahan besar-besaran di Tripolitania. Pada tahun 1858 mereka
mengalahkan perlawanan lokal, memperkokoh pemerintahan mereka di seluruh
penjuru wilayah, dan memberlakukan reformasi Tanzimat ke Libya. Para gubernur
Ustmani memperkuat otoritas pusat, melancarkan proses sedentarisasi masyarakat
badui, membangun sejumlah kota dan mengembangkan pertanian, dan membantu
membangkitkan kembali perdagangan trans-sahara yang berkembang pesat di Libya
sebagai abolisi terhadap rute perdagangan budak sahara melalui Tunisia dan
Aljazair.
Semenjak kongres tahun
1878 Italia mengklaim Tripolitania sebagai bagian dari wilayah imperial, dan
berusaha memperkuat kehadiran perekonomian mereka di propinsi. Italia menduduki
beberapa kota dan memaksa Ustmani agar mengakhiri pemerintahan mereka terhadap
Tripolitania dan Cyrenaica, namun Sanusiyah juga mengklaim sebagai Pewaris
otoritas Ustmaniyah di Libya. Italia menderita kekalahan dalam Perang Dunia II
sehingga Libya jatuh dibawah kekuasaan Inggris dan Perancis, tetapi Perserikatan
Bangsa Bangsa memutuskan menjadikan Libya sebagai sebuah negara merdeka pada
1951. Seorang pemimpin Sanusi, Amir Idris menjadi Raja dan memerintahkan negeri
ini atas dasar legitimasi keagamaan keluarganya dan atas dasar pengabdiannya
dalam perjuangan melawan pemerintahan asing. Pada akhir dekade negara mengambil
alih kekuasaan atas seluruh fungsi ekonomi yang penting, menghancurkan
sekelompok kecil kelas menengah, dan mendistribusikan kekayaan negara. Dampak
politik populisme ini adalah penghapusan seluruh pusat kekayaan independen, dan
pembentukan sebuah sistem pengendalian terhadap fungsionari publik, sehingga
meminimalkan prospek opposisi terhadap Qadhdhafi.
Qadhdhafi sangat terkenal
sebagai tokoh ideologi Arab dan islam radikal. Doktrin revolusionernya yang
pertama merupakan kopi dari ideologi Nasseriyah dan Ba’thiyah dan menyerukan persatuan
Arab, menentang kolonialisme kepemimpinan bangsa Libya dalam menggalang
persatuan dan perjuangan Arab dalam menghadapi Isra’il. Qadhdhafi memproklamirkan
sebuah skripturalisme islam yang ekstrem di mana Al-Quran di jadikan
satu-satunya sumber otoritas bagi rekonstruksi masyarakat islam, namun hal yang
sama tidak diberlakukan terhadap hadist Nabi Muhammad Saw (al-sunnah).
Demikian juga moralitas Al-Qur’an di Libya mengharamkan praktik perjudian,
alkohol, dan bentuk-bentuk kejahatan “Barat” yang sedang menggejala. Dengan
demikian identifikasi Arabisme dan islam berkembang secara luas di timur tengah
dan Afrika Utara.
5. Senegal
pada tahun 1980 negara
Sinegal pada dasarnya merupakan rezim non-muslim sekuler yang memerintah
sebagian besar penduduk muslim. Meskipun rezim ini diorganisir sesuai institusi
politik dan kultural politik eropa dan dijalankan oleh elite non-muslim, bagian
terbesar penduduknya terdidik dalam sejumlah thariqat sufi. Ini bersal dari
abad ke-19, di mana gerakan jihad muslim dan penakluk Perancis menstransformasikan
basis tradisional masyarkat Senegal. Pemerintahan Perancis juga turut menyokong
penyebaran islam. Perancis mengambil sikap pragmatis terhadap muslim dan
memandang mereka sebagai kelompok yang berperadaban tinggi, berpola hidup
produktif, dan cakap di bidang administrasi. Perancis memanfaatkan warga muslim
sebagai juru tulis, menjadikan kepala-kepala kampung sebagai perantara dan
mengizinkan mereka menjalankan hukum muslim (Syari’ah). Sekalipun demikian,
Perancis juga mencemaskan kemungkinan muslim menjadi rival (lawan) politik
mereka dan berusaha menjadikan kekuatan mereka tetap tidak terorganisir dan
tetap berada di bawah kontrol mereka.
Di antara thariqat Senegal
yang paling besar dan termasyhur adalah Murudiyah, didirikan pada tahun 1886
oleh Ahmad Bamba (1850-1927), ia berpendapat bahwa perang melawan Perancis
adlah sia-sia dan menerima bantuan dari para pengikut pendahulunya, dan menganjurkan
kepada mereka berpindah dari peperangan kepada pekerjaan lain. Sebagian besar
pendukung thariqat Muridiyah adalah kaum petani, thariqat ini juga menarik
simpati orang yang tidak memili tanah, pemuda pengangguran yang biasanya
bekerja sebagai pekerja magang dari umur 9 sampai 25 tahun di dara atau
perkumpulan pertanian. Thariqat ini menitikberatkan pada kepatuhan secara total
dan pembayaran dengan tenaga kerja secara reguler. Hal ini menjadi sangat
hirarkis, bersama dengan sejumlah kecil tokoh yang memberikan kesetiaan kepada
mereka yang kedudukannya lebih tinggi.
Pada saat yang sama ketika
masyarakat Senegal diorganisir oleh thariqat sufi, kalangan profesional dan
elite perkotaan non-muslim mengambil kepemimpinan dalam perjuangan kemerdekaan.
Senegal memiliki sejarah elite politik yang sangat cerdik yang berakar pada
pertengahan, ketika Perancis memperluas kewarganegaraan. Senegal pada
pasca-kemerdekaan menyerupai beberapa masyarakat muslim lainnya. Sebuah negara
sekuler yang diperintah oleh elite non-muslim atau elite asing mendominasi
penduduk muslim. Penduduk ini diorganisir ke dalam sejumlah thariqat sufi yang
merupakan basis bagi organisasi ekonomi warga pedalaman. Sejumlah thariqat
muslim tersebut, selanjutnya menjadi bagian integral bagi sistem politik
Senegal.
Sekalipun demikian,
terdapat sejumlah ketegangan antara negara dan thariqat sufi. Meskipun partai
sosialis bergantung kepada thariqat sufi, namun ia tetap menjalankan
sekularisasi dan modernisasi masyarakat Senegal. Pada saat yang sama,
urbanisasi di Senegal menimbulkan pesatnya pertumbuhan penduduk yang mulai
meragukan otoritas magis para tokoh pedalaman. Di beberapa kota muncul minat
terhadap bahasa Arab dan bentuk keyakinan islam yang menitik-beratkan pada
pengalaman shalat, haji, perilaku etika, dan minat intelektual yang
berdampingan dengan penekanan terhadap emosi keagamaan. Sekalipun selama ini
terdapat seorang presiden muslim dan perasaan islam yang sangat kuat, negeri
ini terlalu lemah untuk mengembangkan sebuah gerakan yang besar untuk mengubah
Senegal menjadi sebuah negara muslim lantaran terbagi antara kelompok
tradisionalis dan modernis.
6. Sudan
Pada abad ke-19 beberapa wilayah yang menyusun Negara modern sudah
mempunyai sejarah panjang sebagai kesultanan muslim, memiliki jumlah penduduk
muslim yang besar dan telah mengembangkan sejumlah institusi keagamaan muslim.
Belakangan sejumlah penguasa mesir memperluas wilayah mereka sampai ke wilayah hulu sungai
Nile dan sejumlah propinsi di wilayah khatulistiwa pada tahun 1871, Bahr al
Ghazal pada tahun 1873, dan menaklukkan Darfur pada tahun 1874.
Razum Mesir mengorganisir monopoli
perdagangan Negara dan razia budak menjadi bagian dari bisnis Negara. Pada tahun 1863 Khedive Isma’il membentuk Sudan
Trading Commission and Company (perusahaan komisi dan perdagangan sudan) yang
belakangan di ubah menjadi the
Egyptian Trading and Commission Company untuk membangun dan mengelola
jaringan kereta api, rute pelayaran, dan jaringan telegraph.
Pemerintahan mesir membuka jalan
bagi penyebaran pembaharuan thariqat Sufi. Melemahnya tokoh suci muslim dan
kepala suku dalam berhadapandengan razim asing mengantarkan pada penyebaran
thariqat muslim versi baru. Thariqat Samaniyah diperkenalkan oleh Syaikh Ahmad
al-THayyib ibn Bashir ( w.1837) di perkenalkan ke sudan oleh Muhammad
al-Majdhub (1796-1833), seorang keturunan keluarga wali yang masyhur, yang
berusaha memulihkan thariqat Samaniyah sesuai dengan prinsip-perinsip baru.
Thariqat Khatamiyah dikenalkan melalui ajaran Muhammad Usman al-Mirghani
(1793-1853). Beberapa thariqat tersebut menhadiri konsep keagamaan islam
baru,tunduk kepada aturan hokum islam dan menentang pemujaan tradisional
terhadap faqib sebagai penyandang mukjizat dan sebagai orang suci.
Dalam setengah abad pemerintahannya,
mesir benar-benar membangkitkan perlawankeras terhadap pejabat-pejabat turki
yang menindas, ketika syaikh Muhammad Ahmad menegaskan bahwa dirinya sebagai mahdi
, “penyelamat yang di
tunggu-tunggu”, dan menyerukan kembali kepada islam yang benar ia menentang
penggunaan jimat, komsumsi tembako dan alcohol, kehadiran kaum wanita pada
upacara pemakaman, penggunaan music dalam prosesi keagamaan dan peziarah
kemakam wali. Pendukung awal pemberontakan Mahdis termasuk didalamnya klompok
orang-orang saleh yang terbentuk secara sepontan dan berbagai kelompok kesukuan
yang terorganisir. Gerakan mahdis berkembang jadi gerakan terbuka mereka mengalahkan Jendral
Gordon dan menguasai Khartoum. Dengan kematian mahdi, Abdullah ibn Muhammad, Khalifah
meneruskan perjuangan membentuk sebuah rezim negara
Negara bagian mahdis juga menghadapi ekpansi kekuatan
italia, prancis dan inggris. Pada tahun 1898 pasukan militer mesir-inggris
mengalahkan gerakan mahdis dalam perang omdurman, penaklukan ini mengantarkan
terbentuknya wilayah kekuasaan bersama mesir-inggris dan sebuah pemerintahan
bersama antara mesir dan inggris. Mesir mendanai pasukan militer dan
administrasi negri ini tetapi membiarkan seorang gubernur-jendral inggris
berkuasa penuh terhadap urusan militer dan sipil. Inggris pun memberlakukan
kembali kebijakan keagamaan rezim mesir yang terdahulu. Pada perang dunia I
pihak inggris bersikap mengalah dan menyokong thariqad Khatmiyah untuk
mendapatkan dukungan politik yang lebih besar. Meskipun kebijakan inggris tidak
menentu arahnya, kalangan Mahdis menerima bahkan mendukung pemerintahan inggris
serta berusaha meningkatkan pengaruh mereka mengungguli Status quo para
faqih dan sufi konvensional. Lantaran terdesak oleh meningkatnya pengaruh para
tokoh agama dan terbentuknya kelimpok nasionalis, pada tahun 1924 Inggris
menempuh kebijakan administratif baru untuk mengimbangi elit agama dan
perkotaan dengan meningkatkan kepercayaan politik kepada para pimpinan suku dan
kampung.
Inggris memperkecil cakupan birokrasi untuk menghindarkan pendidikan dan
pengerjaan elite perkotaan, dan mengembangkan pendidikan bahasa Inggris
diwilayah selatan serta membentengi gerakan separatisme ragional. Sekalipun
demikian, jalan menuju kemerdekaan masih berliku-liku. Pihak inggris tetap
enggan mengakhiri kekuasaan kolonialnya, berusaha menanggulangi gencarnya
tuntutan warga Sudan untuk merdeka, pada tahun 1947 Inggris mengajukan rencana
pembentukan majelis legislatif dan dewan eksekutif nasional, namun memberikan
hak veto kepada Gubernur-Jendral Inggris. Negara Sudan merdeka menghadapi
problem besar untk menegakkan sebuah rezim nasional yang stabil. Perpecahan
agama dan faksional di didalam negeri tersebut, beberapa benturan keras anatara
gerakan orang-orang yang komitmen terhadap konsep islam-arab sehubungan
identitas Sudan dan elite militer yang komitmen terhadap konsep sekuler
kebangsaan Sudan menjadikan negara Sudan merdeka sulit menstabilisasikan rezim
politik. Rezim parlemen yang di bentuk pada tahun 1954 segera di tumbangkan
melalui kup militer yang terdiri beberapa kekuatan militer mengendalikan
kekuasaan pemerintah.
Tumbuhnya sentimen islam diwilayah utara mempertinggi arus integrasi dan
islamisasi wilayah selatan. Meskipun secara lebih prakmatis tokoh-tokoh militer
telah berusaha menyelesaikan integrasi wilayah selatan dan utara, sebagai warga
utara sama sekali tidak dapat menerima negara Sudan sebagai negara sekuler dan
sebagai masyarakat pluralis. Sebagai warga selatan masih berpikir dalam
regional dan lokal. Kesulitan membentuk sebuah negara yang pluralistik dan
upaya mendamaikan perselisihan antara konsep identitas Sudan, identitas
nasionalis Arab, identitas islam dan identitas selatan tetap menjadi problem
yang belum terselesaikan.
7. Somalia
Somalia menyerupai Mauritanisa
sebagai sebuah Negara yang menonjolkan corak masyarakat kesukuan muslim arab.
Pada abad ke 18 suku-suku di Somalia sebagian besar adala uslim dan orang arab.
Perlawanan pertama bangsa Somali terhadap pemerintah colonial diwujudkan
melalui pembentukan Somaliland National Society (Masyarakat Nasional
negri Somali), yang memusatkan perhatian pada pendidikan modern untuk mengatasi
partikularisme Somali dan untuk menyatukan penduduk. Masyarakat Somali memiliki
unsur kebangsaan cultural dan kebangsaan yang tunggal tetapi mereka tidak
membentuk sebuah entitas politik. Mereka seluruhnya muslim yang terbagi kedalam
dua klompok keturunan Somali dan Sab yang kemudian terbagi lagi oleh system
segmenter yang kompleks menjadi sejumlah konfederasi, subkonfederasi, suku, dan
pecahan suku.
Warga Somali juga memeluk tiga
thariqat Sufi Qadiriyah, Ahmadiyah dan thariqat Salihiyah. Pada
umumnya thariqat-thariqat Sufi menjain hubungan erat dengan suku-suku Somali.
Para sufi berperan sebagai guru dan hakim, menjalankan administrasi hokum
muslim dalam urusan perkawinan, property, dan perjanjian. Mereka juga bertindak
sebagai mediator sekaligus sebagai arbitrator. Ketika seorang wali sufi
meninggal, makamnya sering dijadikan sebagai tempat pemujaan, obyek peyiarahan
dan disucikan lantaran reputasinya dalam memberikan barokah. Perbedaan
antara peranan sufisme di wilayah utara dan selatan :
Sufisme di wilayah utara
1.
Umumnya
merupakan warga pastoralis (berpola hidup menggembala ternak)
2.
Para
sufi diterima sebagai klien suku dan mereka di beri sejumlah lahan pertanian.
Sufisme di wilayah selatan
1.
Lebih
berpola-cocok tanam dan relative tidak (kurang) berpola hiduppastoralisme
2.
Setruktur
kesukuan lebih lemah sementara organisasi Negara lebih kuat
Isu politik yang paling problematik
bagi Somalia adalah tuntutan untuk memasukkan masyarakat Somalia di Kenya,
Djibouti, dan warga Ethiopia di Somalia.
8. Ethiopia
Ethopia merupakan contoh sebuah
Negara yang di dalamnya terdiri perselisihan tajam antara penduduk muslim dan
non-muslim. Perselisihan antar klompok keagamaan tersebut telah menimbulkan
konflik sejak abad ke-13. Wilayah ekspensi islam dan keultanan muslim yang
tegah brkembang pesat tersebut pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19
mengancam kelangsungan kekuasaan keristen di Ethiopia, tetapi pada tahun 1831
Teodros menduduki tahta Ethiopia dengan
program penyatuan kembali orang-orang Kristen, menaklukkan Yerusalem, Makkah
dan Madinah, menghapuz islam, dan menciptakan kedamean di negri ini.
Setelah
kematian Menelik pada tahun 1913, berlangsung masa tenggang pada panjang
hingga Haile Selassie menduduki tahta kerajaan pada tahun 1930 dan melancarkan
upaya untuk memusatkan (sentralisasi) Negara Ethiopia.
Pada tahun 1950 an kalangan
bangsawan pejabat tersebut tergeser oleh generasi yang lenih muda dan kalangan
perwira militer, lulusan sekolah menegan atas dan Universitas, pimpinan
perserikatan pekerja, dll. Pada tahun 1974 terjadi sebuah pemberontakan
tentara, yang di lanjutkan dengan tersebarnya aksi mogok dan bentrokan, yang
mengantarkan rezim baru tersebut dijalankan oleh Goodinating Committee of the
Army (komisi tentara koordinasi), atau Derg, yang mendobrak pemerintahan
imperial dan menggulingkan kekuasaan kaisar.
Dalam situasi yang acau balau ini
minoritas muslim menggunakan kesempatan untuk melancrkan perlawanan mereka
terhadap upaya penggabungan ke dalam Negara Ethiopia. Dengan didukung oleh
Sa’udi Arabia, Sultan Afars melancarkan pemberontak di ogaden. Western Somalia
LiberationFront (Front Pembebasan Somalia Barat) Melancarkan tuntutannya akan
hak otonomi. Rezim Ethiopia berhasil mengalahkan sebagian besar oposisi, dan
berhasil membangun invasi Somalia.
Pada tahun 1952 Eritreadi gabungkan
dengan Ethiopia berdasarkan otonomi regional, sebaliknya selassie berusaha
mengintegrasikannya kedalam Ethiopia. Pada tahun 1957 bahasa Arab dan Tigriniya
di hapuskan sebagai bahasa resmi. Hal ini mengantarkan kepada pembentukan
sebuah Eritrean liberation Front (Front Pembebasan Bangsa Eritrea :E.L.F.) yang
terdiri kalangan mahasiswa, pekerja, dan intelektual.
C. Kelebihan dan Kekurangan Dakwah di Afrika
1. Kelebihan Dakwah
di Afrika
a. Politik
Dalam
bidang politik tersebut di Afrika banyak juga tokoh
muslim yang menduduki jabatan tetinggi di negaranya. Sebut saja seperti Muammar
Khadafi, yakni beliau sebagai pemimpin muslim konteporer Libya banyak berubah
setelah Muammar Khadafi menguasai politik libya.
Revolusi
Khadafi dianggap sebagai salah satu contoh paling awal
dalam pembaharuan politik Islam, sejak Libya merdeka pada tahun 1960 selain
dari Khadafi juga ada. Pemimpin negara Ghabon serta negara lainnya di Afrika,
sehingga hal tersebut semakin
memudahkan penyebaran ajaran Islam di benua Afrika.
Keputusan
paling awal rezim ini menyangkut masalah referensi nasionalis dan islam, serta
aturan-aturan subtansi. Diantaranya diberlakukan
kembali hukum pidana atas Al qur’an serta pelanggaran alkohol dan klub malam
mengindikasikan pengakuan terbuka terhadap islam sebagai kekuatan pembimbing
dalam kekuatan politik negara.
b. Ekonomi
Afrika
selatan adalah sebuah negara maju dengan penduduk yang
berpendapatan sederhana. Negara ini kaya dengan bahan bahan tambang, terutama
yang bernilai tinggi sperti, emas, platinum dan berlian. Negara Afrika juga mempunyai sistem keuangan, perundangan,
energi infrastruktur yang maju dan moderen. Dengan kekayaan yang di miliki
Afrika semakin membuat
hubungan antara Afrika dengan negara-negara islam di
luar benua Afrika lebih dekat untuk mejalankan dakwah di Afrika tersebut.
2. Kekurangan Dakwah di Afrika
Secara global, Muslim Afrika dari
sisi budaya dan sosial hidup dalam kondisi yang tidak bisa diterima. Mayoritas
mereka adalah Ahli Sunnah, akan tetapi pada hakikatnya, mereka mengenal agama secara turun
temurun, dan tidak melakukan penelitian tentang mazhabnya sendiri. Para ulama
Muslim Afrika juga hidup dalam kondisi yang tidak sesuai, baik dari sisi ilmu
maupun pengetahuannya tentang Islam.
Agama merupakan majemuk keyakinan dan hukum-hukum, dimana mengenai Muslim
Afrika harus dikatakan bahwa pengetahuan dan keyakinan mereka berada dalam
tingkat yang sangat rendah, bahkan mereka juga tidak mampu membuktikan wujud
Tuhan secara ilmiah. Yang dipikirkan oleh para ulama mereka adalah bagaimana
memenuhi kebutuhan hidup pribadi, mereka sangat lemah dalam masalah pemahaman
Al-Quran dan hukum-hukum Islam. Tingkat perekonomian di berbagai negara
Afrika memiliki perbedaan. Akan tetapi secara umum, dikarenakan adanya
faktor-faktor yang berbeda, keseluruhan negara berada di tingkat bawah. Hal ini terjadi karena berbagai faktor, seperti: banyaknya anggota
keluarga, gaji yang rendah, pertanian yang dikelola secara manual dan
tradisional, serta ketiadaan bantuan dan kepedulian pemerintah dan bangsa
terutama kepada para Muslim di negara ini. Institusi-institusi di negara-negara
ini lebih memperhatikan kaum Kristen dibanding kaum Muslim.
Dari aspek sosial dan politik Kelemahan
mereka muncul dari berbagai aspek, selain itu slogan-slogan demokrasi Kristen
juga berada di papan atas dalam pemerintahan. Masalah pemisahan agama dari
politik di sana sangat kuat. Pemisahan agama dari politik telah menyebabkan
rakyat menjauh dari masalah-masalah sosial dan politik. Sementara itu, bantuan
bangsa-bangsa lain kepada umat Kristen, juga menjadi faktor lain yang telah
melemahkan Islam.
Kondisi sumber-sumber alam di kawasan Afrika barat termasuk negara-negara
yang sangat kaya dari sisi sumber-sumber alam. Banyak tanah-tanah produktif
yang tidak membutuhkan penanganan, bisa disaksikan begitu banyak hutan dan
pepohonan alami, akan tetapi produksi pertanian di kawasan ini sangat mahal,
hal ini dikarenakan pertanian di kawasan ini dikelola secara tradisional.
Operasi-operasi yang dilakukan oleh pabrik-pabrik di negara ini
masih sangat dasar, dimana bahkan rakyat Afrika yang tidak mengenal
produk-produk dari susu, seperti mentega, yoghurt dan lain sebagainya. Dalam
perbandingan antara agama Kristen dan Islam, harus dikatakan bahwa propaganda
Kristen dan ketiadaan kewajiban dalam agama ini telah menyebabkan masyarakat
Afrika lebih cenderung dan percaya pada Kristen.
D. Tantangan Dakwah di Afrika
Didalam
melakukan dakwah islam tentunya akan banyak mengalami tantangan dan hambatan yang
akan di hadapi. Bgitu pula dengan dakwah yang dilakukan oleh para juru dakwah
yang ada di benua Afrika. Berbagai negara di Afrika pun menyampaikan kondisi dan
tantangan dakwah yang
mereka hadapi di benua. Negara-negara di Afrika
umumnya menghadapi tantangan
dalam pengembangan pendidikan Islam dan membutuhkan bantuan kemanusiaan. Para misionaris
islam ketika memasuki benua Afrika menemukan fakta yang mengejutkan yaitu
sedemikian luasnya Islam di benua ini. Penyebaran Islam di Afrika tidak dilakukan secara
sistematis oleh kaum muslimin dan para mubaligh Islam.
Politik kolonialisme dan penjajahan terhadap berbagai wilayah Afrika oleh
Belgia, Prancis, dan Inggris dalam waktu yang sangat lama memberikan kesempatan
yang luas bagi para misionaris untuk menyebarkan ajaran Kristen di benua ini.
Di Afrika terdapat banyak
tantangan dakwah, yakni banyak misionaris dibawah yayasan Kristen, yang setiap
tahun membagi bagi ratusan ribu Injil, buku-buku, dan majalah secarah gratis
untuk menyebarkan pemikiran Kristen di tengah pemuda dan remaja dan berbagai
lapisan msyarakat lainya. Yayasan Emier merupakan salah satu contoh dari
yayasan misionaris yang bertujuan untuk memukul Islam.
Yayasan ini memiliki 13 penerbitan dan salah satu aktivitasnya adalah
menerbitkan buku dengan gambar-gambar yang
menarik bagi anak anak. Dan juga yayasan ini melakukan mata-mata dan
melakukan campur tangan dalam urusan pemerintah.Akan tetapi, meskipun telah
dilakukan upaya yang sangat luas oleh para misionaris Kristen serta telah
digunakannya fasilitas dan keuangan yang sangat banyak dalam program misionaris
itu, kenyataan menujukkan bahwah
kelompok penyebaran agama Kristen tidak mampu mencapai tujuan-tujuan mereka.
BAB III
PENUTUPAN
Kesimpulan
Agama Islam masuk ke
daratan Afrika pada masa Khalifah Umar bin Khattab, waktu Amru bin Ash memohon
kepada Khalifah untuk memperluas penyebaran Islam ke Mesir lantaran dia melihat
bahwa rakyat Mesir telah lama menderita akibat ditindas oleh penguasa Romawi
dibawah Raja Muqauqis. Sehingga mereka sangat memerlukan uluran tangan
untuk membebaskannya dari ketertindasan itu. Selain alasan
diatas Amru bin Ash memandang bahwa Mesir dilihat dari kacamata militer maupun
perdagangan letaknya sangat strategis, tanahnya subur karena terdapat sungai
Nil sebagai sumber makanan. Maka dengan restu Khalifah Umar bin Khattab dia
membebaskan Mesir dari kekuasaan Romawi pada tahun 19 H (640 M) hingga
sekarang. Afrika pun juga berkembang sampai negara
Al-Jazair, Tunisia, Maroko, Libya, Senegal, Sudan, Somalia, dan Ethiopia.
Perkembangan negara Afrika mengalami kelebihan dan kekurangan dalam politik,
ekonomi dan sosial.
Daftar Pustaka
Badri, Yatim, 1993, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press
Ira. M. Lapidus, 1999, Sejarah
Sosial Ummat Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Munir Amin, Syamsul, 2009, Sejarah peradaban Islam, Jakarta: Amzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar